Perjanjian Lama adalah kesaksian iman umat Israel akan
penyataan karya dan tindakan Allah kepada mereka dan dunia.
Robert Davidson mengatakan:
Perjanjian Lama
ternyata lebih tertarik untuk menguraikan apa yang telah diperbuat Allah daripada
mendefenisikan Allah. Di dalamnya kita membaca
mengenai perjumpaan dengan Allah yang dinamis, hidup dan aktif lebih
daripada masalah bagaimana memahami secara benar suatu keberadaan yag tak
terbatas dan kekal.[1]
Dalam hal ini, penyataan diri Allah menjadi sesuatu yang
nyata dan bukan lagi sekedar menjelaskan kesiapaan Allah. Oleh karena itu,
kesaksian iman yang digambarkan di dalam Perjanjian Lama menjadi kesaksian akan
Allah yang menyatakan diri-Nya melalui tindakan dan karya-Nya kepada dunia. Dengan
demikian, Allah yang menyatakan diri-Nya kepada umat Perjanjian Lama adalah
Allah yang diimani sebagai Pencipta segala sesuatu (Kej.1:1-31 & Kej 2:
1-7).
Penciptaan adalah karya penyataan
Allah di mana Ia membuat sesuatu yang berlainan dengan diri-Nya. Namun bukan
berarti bahwa Allah melepaskan diri dari apa yang telah Ia ciptakan itu. Allah
setia terhadap ciptaan-Nya. Hal ini dapat dilihat dalam puncak penciptaan yang
berujung pada Sabat, sebagai wadah persekutuan seluruh ciptaan memuji dan memuliakan
Allah. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa anugerah Allah di dalam
kesetiaan dan kasih-Nyalah, Allah menciptakan segala sesuatu. Hal ini berarti
Allah menciptakan segala sesuatu-Nya adalah demi kemuliaan-Nya semata. Hal
inilah yang pertama dan yang terutama. Sebagaimana William Dyrness berpandangan bahwa Allah berniat agar tujuan-Nya tercapai di dalam penciptaan, yaitu untuk
menyatakan kemuliaan-Nya (Yes. 6:3, Mzm. 19).[2]
Dalam penyataan diri-Nya, Allah
memilih satu umat yang dalam Perjanjian Lama dikenal dengan umat Israel. Dalam
pemilihan itu, Allah mengikatkan diri kepada mereka. Dalam hal ini, pemilihan
yang dilakukan Allah bukanlah didasarkan pada keistimewaan umat itu, namun hanya
karena anugerah Allah semata (Ul. 7:7-8). Dalam pemilihan Allah, Allah mengikat
diri-Nya dalam suatu perjanjian. Perjanjian Allah dengan umat Israel adalah
perjanjian hanya karena anugerah Allah semata. “Aku akan menjadi Allahmu dan
engkau akan menjadi umat-Ku” (Ul. 26:17, Im. 26:12). Hal ini menyatakan bahwa
manusia menjadi partner Allah di dalam perjanjian-Nya.
Istilah partner sebagaimana
dikatakan di atas, perlu dipandang dalam tindakan inisiatif Allah. Atau dengan
kata lain sebagaimana Wismoady Wahono
mengatakan bahwa hubungan perjanjian itu
berakar dan bermula pada prakarsa serta penyataan diri Allah sendiri.[3]
Oleh karena itu, sama halnya dengan pemilihan Allah dalam kasih karunia-Nya,
maka demikian pulalah Allah mengikat perjanjian di dalam kasih karunia-Nya.
Ikatan perjanjian Allah dengan Israel menciptakan suatu persekutuan antara
Allah dan manusia dan hal inilah yang menjadi terang atas ikatan persekutuan
yang ada dalam Israel itu sendiri sebagai suatu bangsa.
Melalui ikatan persekutuan antara
Allah dan Israel, maka istilah perjanjian bukan lagi sesuatu yang abstrak bagi
manusia. Israel adalah kenyataan ikatan perjanjian itu. Dengan demikian
kesaksian akan keberadaan Israel menjadi sangat penting untuk menyatakan bahwa
Allah, di dalam penyataan diri-Nya, masuk ke dalam keseluruhan aspek kehidupan
Israel. Aspek kehidupan itu meliputi kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan ideologi.
Dalam kesaksian penyataan Allah
kepada Abraham dan berlanjut kepada keturunannya Israel, maka Allah memasuki
kenyataan sosial persekutuan manusia. Dengan demikian persekutuan sosial yang
ada di dalam Israel tidak bisa dilepaskan dari pengalaman iman akan kesaksian
penyataan Allah. Namun bukan berarti bahwa pengalaman itulah yang terutama,
melainkan penyataan Allahlah yang terutama mempersatukan mereka. Oleh karena
itu, dapatlah dikatakan bahwa persekutuan sosial dalam Israel terbentuk di
dalam kesadaran mereka akan karya Allah di dalam kehidupan mereka.[4]
Oleh karena Allah dalam sejarah
kesaksian kedatangan-Nya kini memilih dan mengikatkan perjanjian dengan Israel,
maka dengan demikian Allah juga telah memilih dan masuk ke dalam kenyataan
persekutuan Israel. Hal ini mengisyaratkan bahwa perwujudan tindakan Allah
memasuki proses sosial yang terjadi di dalam Israel. Lebih jauh lagi proses
sosial yang terjadi dalam kehidupan Israel itu tidak dapat dipisahkan dari
komunitas terkecil dari umat itu sendiri, mis: suku, kelompok, keluarga dan
bahkan individu. Dengan kata lain, Allah masuk ke dalam ikatan koinonia[5]
Israel.
Hubungan Allah dan Israel
tidaklah berakhir di dalam hubungan itu sendiri, dalam artian demi satu umat di
antara semua umat yang ada di dunia ini, dan bahkan seluruh ciptaan yang ada.
Hubungan itu adalah kesaksian bagi seluruh dunia betapa Allah mengasihi ciptaan-Nya
sebagaimana Allah mengasihi Israel. Dengan demikian hal ini mengisyaratkan
bahwa Israel adalah alat kesaksian Allah kepada seluruh dunia. Meminjam dari
istilah H. H. Rowley, bahwa
pemilihan Israel adalah demi pelayanan, baik pelayanan di antara sesama mereka
sebagai umat Allah maupun pelayanan terhadap seluruh bangsa-bangsa. Hal inilah
yang senantiasa ditekankan di dalam perjanjian Allah dengan Abraham, Ishak,
Yakub yang diberitakan oleh Musa, dan ditegaskan kepada Daud serta diingatkan
terus oleh para nabi. Hingga akhirnya di dalam penyataan-Nya yang sungguh
sempurna melalui Yesus Kristus. Di dalam Yesus Kristus, aktualitas penyataan
Allah kepada manusia menjadi sungguh-sungguh nyata. Kehidupan Yesus Kristus
menggambarkan bahwa Allah kini masuk ke dalam persekutuan manusia. Allah hadir
di dalam proses sosial yang terjadi dalam kehidupan umat-Nya Israel. Yesus
Kristus di dalam karya dan kehidupan-Nya, menunjukkan bahwa persekutuan itu
nyata dan dengan demikian juga menunjukkan bahwa Allah juga menginginkan
persekutuan sosial yang ada dalam manusia kini adalah demi pemberitaan akan
kerajaan Allah.
[1] Robert Davidson, Alkitab
Berbicara, (Jakarta: BPK - Gunung Mulia, 1987), hlm. 22
[2] William Dyrness, Tema-Tema
Teologi Dalam Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 51
[3] Wismoady Wahono, Disini
Kutemukan, (Jakarta: BPK - Gunung Mulia, 2002), hlm. 97
[4] Ibid, hlm. 75-76: di dalam
menjelaskan tentang sejarah Israel sebagai sejarah persekutuan di antara suku-suku yang mempunyai pengalaman
terhadap Allah yang sama maka Wismoady Wahono berpendapat bahwa yang terutama
bukanlah hendak mengungkapkan peristiwa penyatuan suku-suku itu sendiri, namun
pertama-tama dan yang terutama adalah hendak mengungkapkan, bahwa Allah sangat
memperhatikan manusia sehingga Ia bertindak terus menerus untuk menyelamatkan
manusia.
[5] Hauck, “κοινωνια”, dalam Theological
Dictionary Of The New Testament
Vol. III, disunting Gerhard Kittel, diterjemahkan Geoffrey W. Bromiley, (Grand
Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1965), hlm. 800-801: di dalam Perjanjian Lama, kata “koinonia” disebut dengan חבר
(khavar) yang artinya mengumpulkan, mengikat, “to deposit”, “to bind” (Mal.
2:14; Yes. 44:11). Selain itu חבר juga diartikan “untuk menjadi satu”
(bnd. Kel. 26:6). Makna kata חבר itu kemudian dijumpai dalam arti
“usaha bersama”, “persatuan untuk kepentingan bersama” dan “kepentingan untuk
mencapai tujuan bersama”.