Selasa, 25 Juni 2013

Persekutuan Dalam Perjanjian Lama



Perjanjian Lama adalah kesaksian iman umat Israel akan penyataan karya dan tindakan Allah kepada mereka dan dunia.
Robert Davidson mengatakan:
Perjanjian Lama ternyata lebih tertarik untuk menguraikan apa yang telah diperbuat Allah daripada mendefenisikan Allah. Di dalamnya kita membaca  mengenai perjumpaan dengan Allah yang dinamis, hidup dan aktif lebih daripada masalah bagaimana memahami secara benar suatu keberadaan yag tak terbatas dan kekal.[1]

Dalam hal ini, penyataan diri Allah menjadi sesuatu yang nyata dan bukan lagi sekedar menjelaskan kesiapaan Allah. Oleh karena itu, kesaksian iman yang digambarkan di dalam Perjanjian Lama menjadi kesaksian akan Allah yang menyatakan diri-Nya melalui tindakan dan karya-Nya kepada dunia. Dengan demikian, Allah yang menyatakan diri-Nya kepada umat Perjanjian Lama adalah Allah yang diimani sebagai Pencipta segala sesuatu (Kej.1:1-31 & Kej 2: 1-7).
            Penciptaan adalah karya penyataan Allah di mana Ia membuat sesuatu yang berlainan dengan diri-Nya. Namun bukan berarti bahwa Allah melepaskan diri dari apa yang telah Ia ciptakan itu. Allah setia terhadap ciptaan-Nya. Hal ini dapat dilihat dalam puncak penciptaan yang berujung pada Sabat, sebagai wadah persekutuan seluruh ciptaan memuji dan memuliakan Allah. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa anugerah Allah di dalam kesetiaan dan kasih-Nyalah, Allah menciptakan segala sesuatu. Hal ini berarti Allah menciptakan segala sesuatu-Nya adalah demi kemuliaan-Nya semata. Hal inilah yang pertama dan yang terutama. Sebagaimana William Dyrness berpandangan bahwa Allah berniat agar tujuan-Nya tercapai di dalam penciptaan, yaitu untuk menyatakan kemuliaan-Nya (Yes. 6:3, Mzm. 19).[2]
            Dalam penyataan diri-Nya, Allah memilih satu umat yang dalam Perjanjian Lama dikenal dengan umat Israel. Dalam pemilihan itu, Allah mengikatkan diri kepada mereka. Dalam hal ini, pemilihan yang dilakukan Allah bukanlah didasarkan pada keistimewaan umat itu, namun hanya karena anugerah Allah semata (Ul. 7:7-8). Dalam pemilihan Allah, Allah mengikat diri-Nya dalam suatu perjanjian. Perjanjian Allah dengan umat Israel adalah perjanjian hanya karena anugerah Allah semata. “Aku akan menjadi Allahmu dan engkau akan menjadi umat-Ku” (Ul. 26:17, Im. 26:12). Hal ini menyatakan bahwa manusia menjadi partner Allah di dalam perjanjian-Nya.
            Istilah partner sebagaimana dikatakan di atas, perlu dipandang dalam tindakan inisiatif Allah. Atau dengan kata lain sebagaimana Wismoady Wahono mengatakan bahwa hubungan perjanjian itu berakar dan bermula pada prakarsa serta penyataan diri Allah sendiri.[3] Oleh karena itu, sama halnya dengan pemilihan Allah dalam kasih karunia-Nya, maka demikian pulalah Allah mengikat perjanjian di dalam kasih karunia-Nya. Ikatan perjanjian Allah dengan Israel menciptakan suatu persekutuan antara Allah dan manusia dan hal inilah yang menjadi terang atas ikatan persekutuan yang ada dalam Israel itu sendiri sebagai suatu bangsa.
            Melalui ikatan persekutuan antara Allah dan Israel, maka istilah perjanjian bukan lagi sesuatu yang abstrak bagi manusia. Israel adalah kenyataan ikatan perjanjian itu. Dengan demikian kesaksian akan keberadaan Israel menjadi sangat penting untuk menyatakan bahwa Allah, di dalam penyataan diri-Nya, masuk ke dalam keseluruhan aspek kehidupan Israel. Aspek kehidupan itu meliputi kehidupan  sosial, budaya, ekonomi, politik dan ideologi.
            Dalam kesaksian penyataan Allah kepada Abraham dan berlanjut kepada keturunannya Israel, maka Allah memasuki kenyataan sosial persekutuan manusia. Dengan demikian persekutuan sosial yang ada di dalam Israel tidak bisa dilepaskan dari pengalaman iman akan kesaksian penyataan Allah. Namun bukan berarti bahwa pengalaman itulah yang terutama, melainkan penyataan Allahlah yang terutama mempersatukan mereka. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa persekutuan sosial dalam Israel terbentuk di dalam kesadaran mereka akan karya Allah di dalam kehidupan mereka.[4]
            Oleh karena Allah dalam sejarah kesaksian kedatangan-Nya kini memilih dan mengikatkan perjanjian dengan Israel, maka dengan demikian Allah juga telah memilih dan masuk ke dalam kenyataan persekutuan Israel. Hal ini mengisyaratkan bahwa perwujudan tindakan Allah memasuki proses sosial yang terjadi di dalam Israel. Lebih jauh lagi proses sosial yang terjadi dalam kehidupan Israel itu tidak dapat dipisahkan dari komunitas terkecil dari umat itu sendiri, mis: suku, kelompok, keluarga dan bahkan individu. Dengan kata lain, Allah masuk ke dalam ikatan koinonia[5] Israel.
Hubungan Allah dan Israel tidaklah berakhir di dalam hubungan itu sendiri, dalam artian demi satu umat di antara semua umat yang ada di dunia ini, dan bahkan seluruh ciptaan yang ada. Hubungan itu adalah kesaksian bagi seluruh dunia betapa Allah mengasihi ciptaan-Nya sebagaimana Allah mengasihi Israel. Dengan demikian hal ini mengisyaratkan bahwa Israel adalah alat kesaksian Allah kepada seluruh dunia. Meminjam dari istilah H. H. Rowley, bahwa pemilihan Israel adalah demi pelayanan, baik pelayanan di antara sesama mereka sebagai umat Allah maupun pelayanan terhadap seluruh bangsa-bangsa. Hal inilah yang senantiasa ditekankan di dalam perjanjian Allah dengan Abraham, Ishak, Yakub yang diberitakan oleh Musa, dan ditegaskan kepada Daud serta diingatkan terus oleh para nabi. Hingga akhirnya di dalam penyataan-Nya yang sungguh sempurna melalui Yesus Kristus. Di dalam Yesus Kristus, aktualitas penyataan Allah kepada manusia menjadi sungguh-sungguh nyata. Kehidupan Yesus Kristus menggambarkan bahwa Allah kini masuk ke dalam persekutuan manusia. Allah hadir di dalam proses sosial yang terjadi dalam kehidupan umat-Nya Israel. Yesus Kristus di dalam karya dan kehidupan-Nya, menunjukkan bahwa persekutuan itu nyata dan dengan demikian juga menunjukkan bahwa Allah juga menginginkan persekutuan sosial yang ada dalam manusia kini adalah demi pemberitaan akan kerajaan Allah. 


[1] Robert Davidson, Alkitab Berbicara, (Jakarta: BPK - Gunung Mulia, 1987), hlm. 22
[2] William Dyrness, Tema-Tema Teologi Dalam Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 51
[3] Wismoady Wahono, Disini Kutemukan, (Jakarta: BPK - Gunung Mulia, 2002), hlm. 97
[4] Ibid, hlm. 75-76: di dalam menjelaskan tentang sejarah Israel sebagai sejarah persekutuan di  antara suku-suku yang mempunyai pengalaman terhadap Allah yang sama maka Wismoady Wahono berpendapat bahwa yang terutama bukanlah hendak mengungkapkan peristiwa penyatuan suku-suku itu sendiri, namun pertama-tama dan yang terutama adalah hendak mengungkapkan, bahwa Allah sangat memperhatikan manusia sehingga Ia bertindak terus menerus untuk menyelamatkan manusia.
[5] Hauck, “κοινωνια”, dalam Theological Dictionary Of The New Testament Vol. III, disunting Gerhard Kittel, diterjemahkan Geoffrey W. Bromiley, (Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1965), hlm. 800-801: di dalam Perjanjian Lama, kata “koinonia” disebut dengan חבר (khavar) yang artinya mengumpulkan, mengikat, “to deposit”, “to bind” (Mal. 2:14; Yes. 44:11). Selain itu חבר juga diartikan “untuk menjadi satu” (bnd. Kel. 26:6). Makna kata חבר itu kemudian dijumpai dalam arti “usaha bersama”, “persatuan untuk kepentingan bersama” dan “kepentingan untuk mencapai tujuan bersama”.

1 komentar: